#Pertama kali membuat kisah cerita pendek yang gagal, karena lebih dari 8 pages, sekitar 20 pages. Ini cerpen pertama kali ditulis di tahun 2009, sebelum lahirnya Novel pertamaku, SIMPUL TERUJUNG. 


Ku Jual Tubuh Ku Untuk Uang


Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, seharusnya aku berada di rumah dan sudah tertidur lelap sama seperti yang lain. Namun tidak demikian dengan ku semakin malam, dan semakin bulan dan bintang memancarkan sinarnya yang redup. Aku harus melangkahkan kaki keluar dari rumah yang sudah reyot. Menelusuri jalan yang gelap dan berharap ada pria yang datang menghampiriku. Sekedar untuk meniduriku sesaat, setelah itu memberiku sejumlah uang.


Pekerjaan ini, aku lakukan karena keterpaksaan. Aku tidak tahu harus bagaimana mencari uang. Sekolah saja, aku tidak tamat. Hidup ku memang sudah rusak, ya sekalian aja rusak. Sudah tak ada lagi orang yang peduli dan sayang padaku. Jadi, mau tidak mau, aku harus bertahan untuk tetap hidup. Jadi inilah jalan yang ku tempuh. Padahal aku sendiri tidak tahu untuk apa aku bertahan hidup di dunia ini.

Sejujurnya, aku juga pernah mencoba untuk mengakhiri hidup ku dengan terjun dari jembatan. Tetapi niat itu aku urungkan. Aku masih belum mau mati, karena aku tidak mau mati dengan mengenaskan. Kalau ditanya kenapa aku masih terus bertahan hidup, aku sendiri pun tidak tahu untuk apa aku bertahan menjalani kehidupan ini. Setidaknya dalam seminggu dua atau tiga kali aku mencari pria-pria yang senang menikmati tubuh wanita dengan cara membayar. 

Malam kian larut, jam sudah menunjukan pukul 00.00, tidak biasanya jalanan tempat biasa para waria dan penjaja seks seperti aku mangkal sudah mulai sepi. Karena malam ini sepertinya memang bukan hari yang pas untuk menjajakan seks. Sebagian dari mereka lebih memilih untuk kembali ke rumah. Namun aku masih tetap bertahan berdiri di pinggir jalan. Kalau-kalau saja ada pria yang lewat dan mau membooking diriku.

Angin malam bertiup semakin kencang, membuat tubuh kurusku yang hanya berbalut pakaian tipis menggigil di dalam balutan baju nilon dengan motif bunga-bunga. Aku berharap dari rumah, malam ini bisa membawa uang beberapa lembar lima puluh ribuan yang bisa digunakan untuk membayar rumah kontrakan yang tak seberapa itu. Rumah liar yang berada di pinggir kota, yang listriknya hanya hidup sehari beberapa jam. Karena menggunakan jenset. Namanya juga ruli (rumah liar), tentunya PLN tidak bisa masuk ke dalam gubuk-gubuk yang hanya dibangun berdasarkan triplek, kayu bekas dan seng yang ditata asal berdiri.

Kakiku yang terbalut sepatu pantofel itu pun sudah mulai terasa pegal. Berdiri dipinggir jalan beberapa jam dengan harapan ada mobil ataupun motor yang berhenti, lalu menego harga untuk short time. Namun para lelaki hidung belang malam itu tak kunjung datang. Pupus sudah harapanku untuk mendapatkan uang beberapa lembar untuk dibayarkan ke pemilik rumah yang judes . Bila pembayaran kontrak rumah telat.

Dengan langkah gontai, lelah dan bingung, aku  berjalan kembali ke rumah. Jarak dari tempatku berdiri ke rumah lumayan jauh. Rumah yang sudah kutempati sejak setahun lalu. Memang kondisi rumah, tempatku bernaung sudah reyot namun mampu mengusir panas dan hujan. Rumah yang dapat melindungi diriku yang sebatangkara dari terpaan angin topan, hujan dan panasnya sinar matahari.

Baru enam langkah kuberanjak dari tempatku berdiri, sebuah mobil sedan tua berhenti di depanku. Begitu jendela kaca mobil itu terbuka, seorang pria menggoda ku dengan sapaan yang genit. ‘’Hai, ngapain sendirian dipinggir jalan,’’ sapa pria itu.

Aku berhenti sejenak memandangnya. Tiba-tiba dia menawarkan tumpangan, tentu saja kesempatan itu tidak aku sia-siaan. Mengingat kaki ku telah lelah berdiri sepanjang malam. Begitu, aku masuk ke dalam mobil dan duduk disebelahnya. Ia pun langsung memutar musik disko dari tapenya yang sound systemnya sudah tidak terlalu baik didengar.

Tanpa basa-basi, dia mengajak ku menginap. Aku pun juga langsung to the point. ‘’Mas mau bayar berapa?’’ tanya ku sambil memberikan senyuman yang terbaik.

''Tarif biasa lah, seratus ribu. Gimana?'' tawar pria bertubuh besar itu.

''Tambah lagi donk. Masa cuma segitu mas,'' kata ku merayu dia sambil mendekatkan pandangan ku padanya. Gerakan itu membuat payudara ku jadi terlihat.

''Jadi maunya berapa,'' tanya pria itu. 

''Dua ratus ya mas, mau bayar rumah kontrakan nih,’’ ujar ku manja.

‘’Eh, ngomong-ngomong. Nama kamu siapa?’’ tanyanya.

‘’Terserah mas mau manggil saya dengan nama apa aja,'' 

‘’Ya, setiap orang kan punya nama,’’ kata pria itu sambil membesarkan suara musiknya.

‘’Nama ku sih sebenarnya Santi. Jadi bagaimana mas, jadi ngak?’’

‘’Itu asli nggak,’’ ujar pria itu sambil menunjuk payudaraku.

''Kalau harga cocok boleh dicoba,'' ujarnya sambil meremas payudaraku sendiri.

''Oke, tetapi pelayanan harus memuaskan ya,'' kata pria itu masih tetap memandang Santi. 

‘’Diusahakan deh mas, pasti nggak kecewa,’’ ujarku menyakinkan.

Begitu nego harga sesuai, mobil berwarna coklat itu pun melaju, menembus gelapnya malam yang semakin malam. Selama perjalanan menuju losmen, tangan pria itu tak berhenti-henti mengelus dan meraba paha mulusku. Aku hanya tersenyum dan pasrah. 

Hingga akhirnya, mobil itu pun berhenti di sebuah losmen yang hanya berjarak lima kilometer dari tempat ku ssemula berdiri.


***


Kami berdua masuk ke dalam kamar nomor 10. Malam itu, sepertinya memang malam yang sepi bagi penjaja seks seperti diriku. Biasanya losmen dipinggiran jalan yang kami tempati ini selalu ramai dan penuh. Bahkan biasasnya ada beberapa pasangan yang menunggu giliran. Kali ini terasa sepi.
 Sepasang manusia yang berbeda jenis kelaminnya itu pun melangkahkan kakinya menuju kamar nomor sepuluh. Begitu pintu kamar terbuka, bau pengap kamar menyengat hidung. Dihidupkannya kipas agar bau kamar tersebut tidak terlalu menganggu. Namun, bau pengap tersebut tidak berhembus dari kamar  nomor sepuluh.

Begitu aku melewati pintu kamar yang sudah dibuka. Pintu itu pun langung ditutup dan dikunci. Walaupun aku sudah sering melakukan hubungan intim dengan berbagai pria hidung belang, bahkan sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi ku tetap saja merasa risih dan aneh. Apalagi saat mata pria itu memandang dan menelusuri tubuh ku yang hanya mengenakan balutan kain tipis, membuatku seakan-akan makanan yang akan disantap dengan rakusnya. 

Pandangannya terus menelusuri tubuhku, bahkan tatapan tajamnya mengarah pada payudaraku. Ku akui memang payudara milikku memang indah dan merupakan asset milikku yang berharga. 
Meskipun aku menggenakan bra warna hitam, namun pandangannya yang tajam, seakan-akan bisa menembus baju  blus yang aku kenakan. Aku hanya duduk di kasur. Kikuk, saat pria yang membookingnya itu menghampiriku. Tanpa berkata-kata apapun dengan mata merah karena menahan nafsunya. Ia pun langsung menghampiriku dan langsung duduk disebelah ku. Tanpa henti dia terus menatap wajahku. Kata orang, wajah ku memang lumayan cantik, tetapi hanya nasib saja yang tidak berpihak padaku. Hingga aku terjerumus pada lembah hitam.

 Tangannya terus meraba dan menyentuh bagian payudaraku dari luar. Karena sepertinya dia tidak puas, ia pun memasukkan tangannya ke dalam bajuku dan menelurusi setiap lekuk tubuhku dengan birahinya. 
Begitu dibagian panyudara, tangannya semakin kencang meremas-remas gunung ku yang menantang dan remasannya semakin kuat. Gerakannya itu membuat ku kesakitan. Mendengar suara ku yang merintih, membuat dia semakin bringas. 

Bahkan bibirnya pun mengulum payudaraku dan mengigitnya membuat ku kesakitan.... Nafasnya memburu, baju ku pun satu per satu dilepasnya dengan kasar. Dengan semangatnya, tangannya terus menurus menelusuri dada ku yang telah berubah warna menjadi merah sangking sakitnya karena remasannya dan gigitannya. Bahkan dia meninggalkan tiap jejak pada bagian sekitar putting ku. Membuat ku mengerang kesakitan 

Setelah puas, ia pun mengulum bibir ku dengan nafsunya. Bahkan berkali-kali bibir ku tergigit olehnya. Lidahnya terus menerus merobos masuk ke rongga mulut dan membuat nafas ku jadi tak beraturan. Sesak dan panas, tangannya terus menulusuri tubuh ku yang sudah tak memakai selembar pakaian lagi.

Setelah puas ia menyalurkan nafsu birahinya, ia pun terkulai lemah disamping ku. Wajahnya tampak puas, walaupun begitu tak henti-hentinya tangannya mengelus dan kadang-kadang mencubit payudara ku. ''Kamu hebat, rasanya aku belum pernah bertemu dengan wanita seperti mu,’’ bisiknya memuji ku.
''Bisa aja mas ini,'' ujar ku masih dengan nafas memburu. ''Sudah selesai nih mas, mana bayarannya?'' pinta ku. 

Lalu, ia pun mengeluarkan empat lembar uang lima puluh ribuan yang masih baru. Uang itu langsung ku ambil dari tangannya dan ku simpan dalam tas yang sudah usang. Saat aku hendak meninggalkannya, tangan ku ditarik dan membuat ku jatuh berada diatas badannya. Dipeluknya aku dan pantat ku pun diremasnya.

''Sekali lagi ya,'' bisiknya ditelinga ku dan lidahnya dimasukan dalam lubang telinga ku. 
Aku merasa jijik saat dia melakukan itu padaku, tetapi aku biarkan saja. Toh, dia sudah membayarku. Untuk melakukan short time lagi, aku merasa enggan. ''Tetapi, waktunya sudah habis,'' tolak ku. Badan ku sudah sakit dan lelah. Karena permainannya yang kasar. 

''Aku bayar lagi, tetapi kali ini kamu harus menuruti apa yang aku mau. Aku dari dulu ingin melakukan beberapa gaya seks, tetapi istri ku selalu menolak. Jadi aku minta kamu jangan menolaknya ya,'' katanya sambil menyuruh ku melakukan beberapa hal yang dimintanya. 

Karena akan mendapat bayaran lagi, jadi tidak ada salahnya aku melakukannya lagi. Aku hanya menurut saja setiap intruksi yang diberikannya untukku. Hingga ia benar-benar puas dan membayar ku lebih untuk itu. Meskipun badan ku terasa sakit dan seperti ditindih berton-ton tiang penyangga tembok. Setidaknya dengan uang itu bisa menutupi kebutuhan ku selama tiga hari kedepan.

***
Semua orang mengetahui pekerjaan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) merupakan sampah masyarakat dan juga dilarang agama. Tetapi apalagi yang harus kuperbuat. Aku tak mempunyai skill, kecuali tubuh ku. Ijazah untuk melamar pekerjaan pun tak ada. Kalaupun aku pernah mengeyam pendidikan itu pun hanya sebatas SMP kelas I. 

Itulah yang membuat garis hidup ku berubah. Impian ku menjadi perawat pun lenyap. Memang ini garis nasib yang harus kuterima. Tak terhitung sudah dosa ku, tak terhitung pula pria yang meniduriku. Salah siapakah ini? Yang pasti masyarakat mempersalahkan aku --orang-orang penaaja seks-- Mereka --manusia-- hanya mampu menyalahkan kami dan menganggap kami sampah masyarakat. Perusak kota, pembuat dunia maksiat makin merajalela. Tetapi mereka tidak pernah mempersalahkan orang kaya yang mempunyai segudang uang untuk menikmati tubuh perawan maupun wanita penghibur kelas atas.

Aku  terduduk lemas di kasur. Tubuh ku terasa pegal dan sakit. Setelah melayani pria hidung belang. Aku tak memiliki pilihan, aku tak punya jalan keluar. Aku tak pernah mengeluh hidup ku seperti itu. Siksaan batin ku pun sudah tak pernah ku rasakan lagi, seakan-akan suara hati kecil ku telah mati. Setelah musibah masa lalu yang selalu menghantui ku disetiap tarikan nafas ku.

Aku selalu berharap esok akan mati, tetapi sepertinya sang pencabut nyawa pun enggan mengampiri. Bunuh diri? Aku tak punya keberanian. Ah, nggak tahu lah, itu kan semua rahasia Tuhan. Aku juga tidak mau berharap pada kematian maupun pada pria yang berniat membawa ku kembali ke jalan yang benar. Melepaskan segala beban yang ku pikul. Karena harapan itu akan sia-sia dan malah akan menyakiti perasaan ku yang sudah sakit. 

***

Sudah seminggu lebih aku tidak lagi menelusuri gelapnya malam. Bukan karena uang di dompet ku masih ada. Melainkan badan ku sudah terasa tak lagi nyaman. Rasa sakit kerap kali datang, tubuh ku lemas. Mau ke dokter pun aku enggan. Enggan untuk mengetahui penyakit ku. Apalagi aku takut membayangkan biaya dokter yang cukup mahal. Karena memang aku tak punya selembar pun uang untuk membayar dokter. Mengurus Jamkeskin pun ribet, membuat ku malas. Pasrah adalah satu-satunya jalan yang terbaik.

Meskipun tinggal di ruli, aku tidak memiliki tetangga. Ada untung dan ruginya. Tak ada yang bertanya dan tak ada yang peduli dengan apa yang sedang ku kerjakan atau ku lakukan disiang hari maupun malam hari. 

Perut ku, sudah tak mau berkompromi lagi, rasa lapar terus menyerang. Aku sudah berusaha untuk mengusirnya dengan meminum air putih banyak-banyak, tetapi sia-sia saja. Persediaan makananku sudah habis sejak dua hari yang lalu, tetapi karena kondisi tubuhku sedang tidak baik. Jadi, aku enggan menelusuri jalanan.

Namun keinginan dan keadaan berkatalain, mau tak mau, aku harus kembali bekerja. Walau tubuh lemah dengan perut kelaparan, aku berusaha berdandan secantik mungkin. Berjalan dengan kaki diseret serta perut yang ku ikat kencang-kencang agar rasa lapar itu menghilang walau untuk sesaat.

Melewati beberapa jalan dan melewati beberapa warung makan yang di pinggir jalan membuat perutnya terasa makin lapar. Sambil memegangi perut, aku berusaha melangkahkan kaki untuk menjauh dari wanginya soto panas dari warung pak Makmur.

Tiba di pinggir jalan, nafas ku seolah-olah mau berhenti. Lelah dan lapar, itulah yang kurasakan. Keringat dingin bercucuran membasahi pelipisku. Masih dengan nafas yang ngos-ngosan, sepintas aku melihat mobil pria yang pernah membooking ku minggu lalu. Mobil itu diparkir di sebelah warung lesehan Pak Dolah. Aku berusaha tak menghiraukan mobil itu dan terus menyusuri jalanan trotor, dengan pikiran ku yang kacau balau.

 Sempat juga terlintas, bahwa ingin rasanya aku menghindari pria itu. Tetapi apa daya, aku membutuhkan uang. Semula kuberpikir dia mencari diri ku, namun pikiran itu segera aku tepis. Karena tidak mungkin, karena masih banyak wanita cantik dan seksi selain aku yang berprofesi sama.

Dengan langkah gontai, wanita yang kesehariannya menjaja seks komersil itu melewati mobil berwarna coklat. Harapannya pun terkabul. Pria bertubuh kekar itu memanggilnya dari arah warung lesehan, tepat mobil sedan tuanya di parkir. 

‘’Hai, Santi mau kemana?’’ teriak pria itu.

‘’Mau, mencari makan mas,’’ jawab ku acuh tak acuh.

‘’Sini, tak traktir makan,’’ ajak pria itu sambil mengampiri ku dan merangkul pinggulku.

Aku hanya menurut saja, saat tangan pria itu merangkul pinggulku dan mengajak ke warung lesehan. Aroma lele goreng yang bertebaran di meja makan membuat perut ku semakin keroncongan. 

‘’Mau makan apa?’’ tanya pria itu padaku, sambil menyeruput es jeruk yang sudah separo dihabiskannya dalam hitungan detik.

‘’Ikan lele goreng boleh juga,’’ jawab ku. ‘’Sama es teh ya,’’

Tak berapa lama, pesanannya pun datang, dengan lahap aku menghabiskannya tanpa mengubris pria yang berada di depan ku.

‘’Sudah kenyang,’’ tanyanya saat melihat aku sudah hampir selesai makan. 

Aku pun hanya menangguk. ‘’Belum ada yang booking kan?’’ tanyanya. ‘’Aku aja yang booking ya,’’ sehutnya lagi tanpa menunggu jawaban ku.

Kembali, aku menganggukan kepala. Kami pun menuju mobilnya. Pria itu langsung mengemudikan mobilnya. Bukan ke arah losmen yang sebelumnya digunakan untuk memadu kasih. Melainkan menuju arah bangunan tua.

‘’Kita main di sini aja,’’ ajak pria itu. 

Aku hanya memandang bingung. Pasalnya, tempatnya gelap dan kotor. Namun, lagi-lagi aku tak bisa menolaknya. Kembali aku teringat pertama kali, aku menjadi PSK melayani pria bertubuh tambun di semak-semak. Pasalnya, pria itu enggan membayar losmen untuk memadu kasih dengan perempuan penjaja seks. Akibatnya, tubuh ku sempat lecet, karena lokasinya tidak nyaman. Aku melakukan itu karena terpaksa. Apalagi kalau bukan dikarenakan aku membutuhkan uang.

Aku berpikir dimana saja sama saja, yang penting mendapat bayaran. Malam ini, rencanaku kalau dapat tiga konsumen. Uang tersebut mau digunakan untuk belanja keperluan sehari-hari. Apa lagi kalau bukan yang serba instant, mie instant, sarden maupun makanan yang serba praktis.

Aku dibuyarkan dari lamunanku, pria yang membookingku itu pun mengajakku kebelakang. Begitu keluar dari mobil, pria itu langsung menuju belakang mobilnya dan meminta ku mengikutinya. Pintu mobil bagian belakang dibuka. Di dorongnya tubuh ku, hingga terjongkok. Rok sepan bermotif bunga yang dikenakannya disibakkannya. Hingga celana dalam warna pink yang ku gunakan langsung diturunkannya dengan kasar. Lalu, ia membuka celana ku dan mulai melakukan aksinya.

Susah payah aku mengimbangi tiap gerakannya, tetapi tubuh ku sudah lemah tak berdaya. Melihat kondisiku yang kurang prima melayaninya. Rambut panjang ku pun ditariknya, membuat ku merintih kesakitan. Permainan itu berlangsung singkat. Wajah pria yang tadinya bersahabat, tampak tak ramah. Sempat membuatku merasa takut.

‘’Tak puas aku main dengan mu malam ini. Apa karena nggak di losmen, jadi servisnya nggak mantap,’’ ujarnya sambil mendorong tubuh ku lebih masuk ke dalam mobil.
Saat aku mau bangun, ia pun langsung masuk ke dalam mobil. ‘’Bukan begitu mas,’’ jawab ku cepat.

‘’Ayolah, berikan pelayanan yang mantap. Seperti film-film blue. Aku pengen melakukan dan merasakan itu,’’ ungkapnya sambil menarik tangan ku untuk mendekat padanya.

Aku hanya memandangnya dan mengikuti semua intruksinya. Berharap ia akan membayar ku lebih. Namun, ku sangsikan hal itu. 

‘’Nggak buruk,’’ ujarnya sambil memberikan uang lembaran berwarna hijau enam lembar. ‘’Kapan-kapan aku pakai lagi ya,’’ 

Aku hanya menganggukkan kepala dan memakai kembali pakaian ku yang sudah dilepaskannya dengan kasar. Setelah membayar ku, ia pun menurunkan aku di tempat yang rada sepi. Alasannya, istrinya sudah memanggilnya untuk pulang.

Aku pun melangkahkan kaki ku. Selang lima menit berjalan, sepeda motor berhenti di depan ku dan menawarkan tumpangan. Saat itu, ia memandang ku dari atas hingga ke bawah. ‘’Bisa dipakai ya mba?’’ tanya pemuda itu.

Aku pun bertanya, ‘’maksudnya apa?’’

Pemuda yang diperkirakan berusia sembilan belas tahun itu pun tersenyum. ‘’Bisa di booking,’’ katanya lagi.

‘’Memamgnya mau bayar berapa?’’ tanya ku.

‘’Biasanya berapa? Jangan mahal-mahal lah. Ngak ada duit neh, bagaimana kalau Rp75 ribu. Plus mba, nanti saya antar mau kemana. Deal! Ok!’’ ujarnya memberikan tawaran.

Aku pun langsung menyetujuinya. Karena aku butuh uang lebih, minimal untuk menyimpan beberapa makanan instant yang bisa digunakan beberapa hari. Kalau bisa mau menabung untuk pulang ke kampung halaman.

  Pemuda itu mengajak ku ke semak-semak, tidak terlalu gelap. Karena ada lampu penerangan jalan yang sinarnya sampai ke lokasi tersebut. Pemuda itu pun langsung dengan gesitnya menurunkan celana jeans belelnya berwarna hitam. Setelah itu, tangan ku pun ditariknya kearah pohon-pohon yang tumbuh disitu. 

Begitu sampai ke lokasi yang dianggap, tak kan ada orang yang tahu. Ia pun langung melakukan penyerangan di bibir ku sambil bergumam tak jelas.

‘’Oh sayang sudah lama aku ingin mencium bibir mu, leher mu, tubuh mu, napa kamu jual mahal,’’ ungkapnya sambil terus menjelajahi wajah ku dengan ciumannya yang bertubi-tubi.

Bahkan saat bibirnya beradu dengan bibir ku. Rasanya sangat menyakitkan, kasar dan penuh nafsu. Sama seperti lidahnya yang terus menerus mencari sesuatu di dalam mulut ku. Membuat ku hampir tak bisa bernafas. Tidak sampai disitu saja, beberapa kali bibir ku tergigit olehnya.  Setelah puas, ia pun melakukan serangan ke bagian lainnya dan lainnya. Setelah itu, tersungkur. Dalam hitungan menit, ia pun merapikan kembali bajunya.

‘’Ini bayarannya, mau diantarkan kemana?’’ tanyanya acuh tak acuh.

Aku pun menerima uang yang disodorkannya pada ku. ‘’Antar aja ke café X,’’ pinta ku.

***

Suara musik yang menghentak terdengar hingga ke luar. Saat itu, malam semakin larut, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam café kelas pinggiran itu. Asap rokok memenuhi ruangan. Beberapa pasangan pria dan wanita berjoget ria mengikuti irama musik yang diputar melalui stereo.

Begitu sampai ke arah bartender, pria bertubuh ceking itu menghampiri ku. Dia pun menawarkan sejumlah uang agar menemaninya tidur malam itu. Aku pun langsung menyetujuinya. Diajaknya aku pergi dari café itu dan naik sepeda motor bebeknya menuju arah losmen. Sampai di sana, aku pun mengikuti kemauannya dan tertidur juga di losmen yang tak jauh dari lokasi café yang tadi ku datangi.

Keesokan harinya, dua lembar seratus ribu ku terima dan kami pun berpisah saat keluar losmen.

***

Sejak tiga malam lalu, tubuh ku terasa tak berdaya, lemah dan tak bergairah. Rasanya panas dingin. Kalau ku ingat sejak aku menjadi PSK, sudah puluhan lebih pria yang meniduriku dan membayar ku untuk itu. Berbagai pengalaman buruk telah ku alami.

Entah kenapa, aku merasa takut dengan penyakit ku. Aku takut, karena aku merasa tak berdaya menghadapi dunia ini. Tak ada tetangga untuk dijadikan tempat curhat maupun lainnya. 

Kondisi tubuh ku dari hari ke hari makin buruk. Hal itu mengingatkan ku pada masa lalu ku yang membuat aku jadi terpaksa menjadi PSK.

Saat itu, aku masih senang-senangnya bersekolah. Karena itu memang tugas utama ku, selain membantu ibu berjualan di pasar. Tumbuh sebagai anak piatu, dan mendapatkan ayah angkat. Berharap kehidupan ku dan ibu ku berubah menjadi lebih baik. Namun, harapan ku pupus.

Saat ibu sedang berjualan di pasar dan aku sedang membungkus beberapa kue pesanan, sebelum diantar ke pelanggan. Ayah tiri ku pulang dan minta diambilkan minum. Karena, aku anak baik, aku pun mengambilkannya minuman teh panas. Namun, itu menjadi petaka daam hidup ku, yang tak bisa ku hindari.

Ayah tiri ku memperkosa ku. Aku yang tak tahu apa-apa hanya menangis saat pria bertubuh ceking itu menggagahi ku di ruang tamu. Setelah disalurkan nafsu bejatnya, ia pun mengancam ku untuk merahasiakannya atau aku akan diusir dari rumah.

Takut di usir, aku diam saja. Rasanya kemaluan ku terluka dan berdarah, saat ia memaksakan alat vitalnya masuk ke dalam kemaluan ku.

Tidak hanya sekali, perbuatan itu dilakukannya pada ku. Melainkan berulang-ulang kali. Hingga akhirnya ibu ku mengetahui prilaku bejatnya. Namun, harapan untuk dibela dan diayomi orangtua kandung ku pun pupus. 

Aku malah diusir dari rumah itu. Padahal, itu bukan perbuatan ku dan bukan keinginan ku. Apa yang ku takutkan terjadi, ternyata perempuan yang selama ini ku panggil ibu malah memilih pria yang telah merusak masa depan ku.

Karena itu lah, aku menjadi PSK. Karena merasa sakit hati dan tak berdaya. Bahkan, saat aku diusir dari rumah. Aku yang tak tahu mau kemana dan hanya membawa baju yang hanya melekat dibadan itu berjalan gontai tanpa tujuan yang pasti. Hingga ada wanita yang mau menampung ku. Itu pun ternyata aku dijadikan PSK. Dari situlah, aku menjadi wanita pemuas nafsu. Padahal usia ku masih terbilang muda.
Tak sedikit pria yang menikmati tubuh ku. Dalam hitungan bulan, aku menjadi primadona. 

Mendengar mengenai Batam, aku pun tertarik untuk mencoba mengadu nasib di sana. Berbekal uang yang tak seberapa, aku pun terbang dari Surabaya ke Batam. Kota yang terkenal dengan kota industri dengan beragam hal didalamnya. Niat ku untuk ke Batam, sebenarnya untuk mengubah garisan nasib hidup yang memaksa ku menjadi PSK. Namun, sia-sia. Karena, aku tak berpendidikan. 

Sebelum kembali ke profesi ku sebagai wanita pelampiasan nafsu, aku sempat menjadi pembantu. Namun, aku tak betah. Karena majikan ku yang super cerewet. Aku pun meninggalkan rumah tersebut dan memulai pertualangan ku dari waktu ke waktu.

Hingga  aku mencoba bunuh diri, namun aku takut pada kematian yang mengenaskan. Pernah aku mencoba menggunakan mami, tetapi aku tidak betah. Jadilah, aku menjaja cinta dari satu tempat ke tempat lain. Hingga terdampar di dalam jurang.

***

Entah sejak kapan, aku tidak tahu. Saat ini, setiap aku sakit pusing atau flue biasa. Kondisi ku semakin buruk dan buruk. Aku kurang menyadarinya, aku sudah merasakan sejak lima tahun lalu. Kondisi ku kadang-kadang suka drop dan kadang pulih.  Aku tetap melakukan pekerjaan ini. Aku selalu merasa sehat. Namun, rasa sakit belakangan ini, membuat ku mendatangi puskesmas terdekat.

‘’Dok, belakangan ini setiap saya sakit flue. Kenapa susah banget sembuh. Biasanya, minum obat sudah sembuh. Tapi, beda banget, kondisi saya koq malah semakin memburuk,’’ keluh ku pada dokter.

‘’Pekerjaan ibu apa?,’’ tanya dokter.

‘’Penting ya dok,’’ kata ku balik bertanya.

‘’Penting untuk mendiagnosa penyakit ibu. Jadi, ibu harus jawab jujur,’’ jawab dokter itu.

‘’Saya bekerja sebagai PSK, dok,’’ ujar ku sambil tertunduk. 

‘’Waktu melayani tamu, pakai kondom nggak?’’ Tanya dokter itu lagi.

‘’Kadang-kadang ada yang pakai, paling banyak nggak ada yang pakai dokter,’’ ungkap ku lirih, malu mengungkapkan keadaan diri ku.

‘’Kalau begitu, kita periksa darah ya,’’ saran dokter. ‘’Besok datang kembali,’’

‘’Iya dok. Tapi, kenapa harus periksa darah,’’ tanya ku dengan nada penasaran.

‘’Sangat penting,’’ tegas dokter. ‘’Besok, kita lihat hasilnya saja,’’

***

Keesokan harinya, kondisi ku semakin parah. Saat melangkahkan kaki ke puskesmas saja, keluar keringat dingin. Ruangan dokter yang berukuran 3 x 4 meter tampak tertata rapi.

‘’Bu, sudah siap mendengar hasilnya,’’ tanya dokter, saat aku duduk dihadapannya.

‘’Hasil diagnosanya apa dok,’’ tanya ku bingung.

‘’Hasil sample darah yang diambil kemarin,’’ jawab dokter sambil tersenyum.

Aku semakin tak mengerti. Padahal, aku hanya sakit flue biasa. Biasanya jua dua atau tiga hari sudah baik. Tapi, kenapa jadi begini urusannya kalau ke dokter. ‘’Mudahan, dok,’’ jawab ku singkat.

‘’Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratium. Hasilnya, Ibu, positif HIV’’ kata dokter. ‘’Mudahan tabah ya,’’

‘’Maksud dokter apaan itu. Penyakit apa itu?’’ tanya ku bingung dan tak mengerti.

Dokter Heni menjelaskan, virus HIV menyerang kekebalan tubuh dan perlahan-lahan akan merusak sistem kekebalan tubuh. Sehingga tubuh tidak dapat melawan infeksi dan penyakit biasa lagi.

‘’Biasanya penyakit ini diakibatkan seringnya berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan alat pengaman,’’ ungkapnya.

Mendengar penjelasan dokter membuat ku semakin bingung. ‘’Saya tidak mengerti maksud dokter apa? Apakah bisa disembuhkan,’’ tanya ku merasa takut.

‘’Begini ibu, biasa kalau sakit flue biasa. Kita bisa sembuh dengan sendirinya tanpa obat. Karena kekebalan yang ada di tubuh bekerja. Karena kondisi tubuh ibu terserang virus HIV. Sehingga kondisi ibu tidak sama seperti saat dulu. Sehingga kekebalan tubuh ibu melemah. Sebaiknya ibu ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih baik. Karena untuk penyakit ini  ada obat khusus untuk itu. Gratis bu obatnya, tapi ibu harus menjaga kondisi tubuh dengan makan-makanan yang sehat dan tidak boleh makan-makanan yang mengandung pengawet,’’ jelas dokter Heni.

‘’Baik, dokter, terimakasih,’’ ucap ku sambil meninggalkan ruangan itu.

***

Aku sama sekali tidak mengerti maksud dokter. Penyakit apakah yang sedang ku derita ini? Aku sama sekali tak mengerti HIV positif, menyerang kekebalan tubuh. Apa artinya. 

Aku mencoba saran dokter Heni untuk menanyakan prihal penyakit ku ini. Aku pergi melakukan konseling di rumah sakit yang dirujuk dokter dari puskesmas dan aku baru menyadari bahwa penyakit ku ini tidak bisa disembuhkan. 

Kini, penyakit itu makin hari makin ganas dan aku akan mati dalam kesendirian dengan masih menyimpan rasa sakit hati ku pada orangtua ku. Tak ada orang yang berniat menolong ku. Itu hanya janji-janji palsu. Aku pun sudah tidak mau memakan obat yang diberikan. Karena itu pun tak membuat ku sembuh. Apalagi pola makan ku yang serba instant, membuat kekebalan tubuh ku semakin turun.
Rintihan kesakitan ku tak ada yang mendengar. ‘’Ya, Tuhan. Ini bukan keinginan ku, ambillah nyawa ku. Jangan membuat diri ku kesakitan seperti ini. Tak berdaya, tanpa ada orang yang peduli pada ku,’’ teriak ku dalam doa.

Aku tak bisa melangkahkan kaki ku, terasa lemah. Tubuh ku tak berdaya, jiwa dan raga ku haus. Namun, tak bisa aku hadapi. Karena, aku hanya bisa berdiam di tempat tidur ku. Berharap maut segera menjemput aku dari kesakitan yang ku derita ini.

Menangis, entah kenapa aku menangis. Apa karena aku akan mati, apa karena penyakit ku, apa karena nasib ku, apa karena hidup ku yang sejak lahir tak pernah bahagia. Sudah lama aku tak menangis. ‘’Tuhan, ampuni aku, ampuni orang yang telah membuat ku menderita seperti ini,’’ doa ku dalam kesendirian malam.
Kesakitan yang luar biasa menerpa hidup ku hingga detik nafas ku berakhir. Aku masih menderita. Hidup ku memang ditakdirkan menderita. Aku mati dengan kesendirian ku, aku mati meninggalkan jasad ku. Entah diapakan jasad tubuh ku yang penuh dosa. Aku mati bukan dengan damai. Karena, hati ku tak pernah berdamai dengan siapapun. Karena tubuh ku, ku jual untuk uang. Untuk hidup di dunia fana ini, tanpa mengerti makna di dalamnya. Karena aku takut mati, kini malah aku hembuskan nafas terakhir seorang diri, tanpa ada yang tahu. 



Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health