Sahabat Kekerasan Seksual,  Justitia Mendapat Penghargaan Astra

 


Citrapandiangan.my.id- Di dunia ini tidak ada yang mau menjadi korban kekerasan seksual. Namun, apa daya ketika tubuh di renggut tanpa persetujuan. Luka tidak hanya membekas di kulit, tetapi juga di jiwa untuk selamanya.


Potret Kekerasan Seksual di Indonesia: Antara Data dan Suara yang Tersamar

Di balik pintu rumah, di lorong sekolah, bahkan di ruang digital yang kita kira aman, ada cerita-cerita yang jarang terdengar. Cerita itu datang dari perempuan, anak-anak, bahkan laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka membawa luka yang sulit disembuhkan, sementara angka kasus terus naik dari tahun ke tahun.


Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 mencatat  289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan lebih dari sepertiga di antaranya adalah kekerasan seksual. Angka itu bukan sekadar statistik. Melainkan potret nyata betapa rentannya masyarakat terhadap kejahatan yang merampas martabat dan rasa aman seseorang.


Lebih Dekat dengan Angka

Data menunjukkan bahwa bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi adalah perkosaan (40%), diikuti pelecehan seksual (30%), lalu eksploitasi seksual (15%). Fenomena baru yang muncul beberapa tahun terakhir adalah kekerasan seksual berbasis digital, dengan kenaikan mencapai 25% dalam kurun waktu 2022–2023.

Ilustrasi 


Korban sebagian besar adalah perempuan muda berusia 15–30 tahun, rentang usia produktif yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk belajar, bekerja, dan berkarya. Namun, ruang digital yang semula menjadi sarana aktualisasi diri, kini juga menghadirkan ancaman: penyebaran konten intim tanpa izin, pemerasan seksual (sextortion), hingga perundungan seksual berbasis siber.


Anak-anak dalam Bahaya

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat pada 2022 ada 7.191 kasus kekerasan terhadap anak, dengan lebih dari separuhnya adalah kasus seksual. Ironisnya, sebagian besar pelaku justru berasal dari lingkar terdekat korban: ayah, paman, guru, atau tetangga. Pelaku seringkali orang yang dipercaya korban. Itu yang membuat anak-anak sulit berbicara, sulit melapor.


Diam karena Stigma

Meski data mencatat ribuan kasus, faktanya jumlah korban yang melapor masih sangat sedikit. Komnas Perempuan memperkirakan hanya sekitar 30% korban yang berani mencari bantuan. Banyak yang memilih diam karena takut disalahkan, khawatir merusak nama baik keluarga, atau tidak percaya pada sistem hukum yang ada.


Stigma korban yang salah masih kuat melekat. Ketika seorang perempuan diperkosa, pertanyaan yang muncul seringkali bukan “Mengapa pelaku tega melakukan itu?” melainkan “Mengapa dia keluar malam-malam?” atau “Pakaiannya seperti apa?”

 

Antara Regulasi dan Realitas

Harapan sempat tumbuh ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. UU ini dianggap sebagai tonggak penting karena memperluas definisi kekerasan seksual dan memberi perlindungan lebih menyeluruh bagi korban.


Namun, implementasi di lapangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Layanan pendampingan masih terbatas, shelter belum merata, dan aparat penegak hukum masih perlu pelatihan agar sensitif terhadap korban.

 

Suara yang Harus Didengar

Angka-angka tentang kekerasan seksual memang mencengangkan. Tetapi di balik setiap angka, ada wajah dan nama. Ada seorang remaja yang berhenti sekolah karena trauma, ada ibu rumah tangga yang memilih bungkam demi anak-anaknya, ada mahasiswa yang dilecehkan di ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat belajar. Mereka tidak butuh belas kasihan. Yang mereka butuhkan adalah perlindungan, keberanian untuk didengar, dan sistem yang berpihak pada korban.

 

Menyalakan Lentera di Balik Kelam: Perjalanan Justitia Avila Veda dan KAKG, Sahabat Korban Kekerasan Seksual

Pada tahun 2020 di platform media sosial, sesosok pengacara muda membuat sebuah cuitan sederhana: Dia menawarkan diri menjadi tempat untuk berbicara, bagi siapa saja yang pernah mengalami kekerasan seksual tetapi bingung harus ke mana. Cuitan itu bukanlah kampanye besar, bukan pula gerakan resmi, hanya suara kecil di ruang maya. Namun, dari sana terbentuklah sebuah harapan yang kemudian menjelma menjadi organisasi yang turut memberi arti bagi ratusan penyintas: Sahabat Korban Kekerasan Seksual, di bawah naungan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), yang didirikan oleh Justitia Avila Veda.

 

Awal Gerakan: Cuitan, Respons, dan Kesadaran

Justitia Avila Veda, akrab dipanggil Veda, memulai langkahnya sebagai profesional hukum yang menyadari bahwa banyak orang di sekitarnya, khususnya para perempuan yang menyimpan luka kekerasan seksual, merasa bingung, takut atau tidak tahu bagaimana mendapat keadilan. Dia menyadari bahwa stigma sosial, tabu, ketidakpahaman terhadap definisi kekerasan seksual membuat banyak kasus tetap memendam diam. Bahkan, beberapa orang tak tahu bahwa apa yang menimpa mereka adalah suatu kejahatan.  


Pada pertengahan 2020, dalam satu momen genting pandemi COVID-19 yang membatasi mobilitas dan tatap muka, Veda membuat tawaran konsultasi melalui sebuah cuitan di Twitter, yang sekarang berubah menjadi X. Justitia membuka pintu konseling secara online, tanpa bayaran untuk siapa pun yang butuh tempat bercerita atau mencari jalur keadilan.


Dia tidak menyangka, responnya cepat dan kuat. Hanya dalam waktu kurang dari 24 jam, puluhan aduan mengalir; DM, email, pesan dari penyintas yang merasa tak punya ruangan lain untuk bersuara.  

 

Mengorganisir: Dari Relawan ke Struktur Terpadu

Dari situlah, ketika respons publik meluap, Veda menyadari bahwa inisiatif spontan saja tidak CUKUP. Tak bisa hanya satu orang membantu ratusan orang tanpa sistem, tanpa dukungan, dan tanpa struktur. Maka lahirlah KAKG (Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender). Organisasi ini awalnya terdiri dari dua atau tiga pengacara dan paralegal, yang kemudian berkembang menjadi puluhan orang.  


KAKG dirancang bukan hanya sebagai kantung pengaduan, tetapi sebuah lembaga pendampingan holistik. Tidak hanya konsultasi hukum, tetapi juga pemulihan psikologis, medis, sosial, dan reputasi. Kerja sama dengan psikolog dan dokter diciptakan agar korban tak hanya diajak berurusan dengan hukum, melainkan juga dipulihkan dari trauma yang menyeluruh.


Kelompok prioritas KAKG juga ditetapkan agar penderitaan tidak makin berat bagi mereka yang paling rentan. Kelompok marginal secara ekonomi, anak-anak di bawah umur, minoritas gender atau etnis, juga orang dengan disabilitas atau status kerentanan lainnya menjadi fokus.

 

Tantangan, Hambatan, dan Keteguhan

Perjuangan bukanlah lurus dan mudah. Hambatan datang dari banyak sisi. Stigma masih menjerat korban; aparat penegak hukum tak selalu peka; proses hukum sering lama, berbelit, dan kadang intuitifnya tak berpihak pada korban.  


Selain itu, banyak korban tidak melapor sama sekali karena takut dipermalukan, takut tidak dipercaya, atau bahkan takut bahwa mencari bantuan akan memperburuk situasi (misal di lingkungan keluarga atau sosial). Ketidaktahuan akan hak dan definisi kekerasan seksual menambah beban psikologis.  


Secara operasional, tantangan logistik dan sumber daya juga nyata. Bagaimana menyediakan layanan yang cepat, aman, dan sesuai kebutuhan korban? Bagaimana menjangkau daerah di mana akses hukum sangat terbatas? Bagaimana menguatkan jaringan pendukung seperti psikolog, medis, dan tim pendamping di luar kota besar? Semua ini perlu dipikirkan dan diupayakan.

 

Dampak dan Perubahan Nyata

Meskipun banyak tantangan, dampak KAKG bersama Veda sudah mulai terasa. Data‐data aduan yang diterima terus bertambah. Hingga tahun-2023, KAKG telah menerima ratusan aduan—kasus yang memerlukan pendampingan hukum, serta pemulihan lainnya. ([gopos.id][3]) Beberapa kasus bahkan berhasil sampai pengadilan dan menghasilkan vonis pidana dan restitusi, yaitu kompensasi kepada korban.  


Lebih dari itu, usaha KAKG juga ikut membangun kesadaran publik: bahwa kekerasan seksual tidak boleh dianggap sepele; bahwa korban tidak boleh dileka; bahwa hukum, kesehatan mental, dan keadilan sosial harus berjalan beriringan. Melalui media sosial, edukasi publik, dan advokasi, Veda dan timnya mengajak masyarakat menggugat stigma dan makin memahami bahwa korban tidak sendiri.  


Penghargaan juga diperoleh sebagai pengakuan bahwa usaha ini bukan sekadar proyek pribadi, tetapi telah menjadi bagian dari perubahan: Veda mendapat SATU Indonesia Awards 2022 di bidang kesehatan.

 

Harapan ke Depan: Keberlanjutan dan Inklusi

Veda dan KAKG memandang bahwa perubahan harus meluas dan inklusif: akses keadilan bagi korban harus merata, bukan hanya di kota besar, bukan hanya bagi mereka yang tahu medsos, bukan hanya bagi yang punya dukungan finansial atau jaringan. Layanan harus terus diperluas ke daerah-daerah, kerja sama dengan aparat lokal, lembaga kesehatan mental, dan LSM, agar tidak ada korban yang tersisih.  


Perbaikan sistem hukum dan perundangan juga menjadi bagian penting: agar respons hukum menjadi lebih cepat, pelaku lebih bertanggung jawab, dan perlindungan bagi korban, baik fisik maupun psikis, diperkuat secara nyata. Secara budaya, sosialisasi tentang definisi kekerasan seksual, consent, dan hak korban tetap menjadi pekerjaan rumah besar.  

 

Kesimpulan

Perjalanan Justitia Avila Veda dan KAKG adalah kisah tentang bagaimana sebuah inisiatif sederhana dari sebuah cuitan yang tulus menawarkan telinga dan ruang bicara dapat memantik sebuah gerakan advokasi yang nyata, penting, dan berdampak. Gerakannya tak hanya membantu individu yang butuh pendampingan hukum; tetapi juga menyemai pemahaman bahwa korban kekerasan seksual berhak mendapat keadilan, penghormatan, dan pemulihan. Veda, dengan keberanian dan rasa empatinya, menunjukkan bahwa keadilan tak harus menunggu, bahwa satu orang bisa menjadi sahabat, menjadi pendamping, menjadi lentera di saat banyak yang masih berada dalam gelap.


#APA2025-KSB

 Sumber

https://www.tempo.co/politik/tokoh-inspiratif-justitia-avila-veda-pendamping-kaum-hawa-korban-kekerasan-seksual-36116

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/09/20/justitia-avila-veda-dari-kepedulian-menjadi-keadilan




Enjoy Life and be go green








Note: Please visit my blog to storycitra,  B Travelerkitabahagia, Jejak Cantikngerumpi, petunjukhidup blog







Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

1 komentar untuk Berawal Dari Tweets, Justitia Avila Menyalakan Lentera

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health

  1. Keren ya, bisa memulai hanya dari cuitan. Semoga gerakan kecil menjadi besar ini bisa bermanfaat bagi orang lain

    BalasHapus