Anne masih berada di dalam kamarnya, meskipun berukuran 4 x 4 tetapi didesain dengan nyaman. Dinding yang dipilihnya berwarna ungu muda kebiru-biruan. Tempat tidur yang nyaman, meja rias berada di depannya. Sedangkan meja computernya diletakkan dekat jendela yang ada taman kecilnya. Sehingga saat bekerja menulis bahan ceritanya. Ia bisa memandang pemandangan.
Kasus bunuh diri mengingatkannya pada teman masa kuliahnya. Sebut saja Marie. Marie merupakan kakak kelasnya satu tingkat jurusan informatika computer di salah satu perguruan swasta di Bandung. Kos-kosan yang berjumlah 25 kamar yang terdiri dari wanita semua. Selalu ceria dan ramai.
Apalagi yang menempati tidak hanya satu jurusan dan satu kampus. Melainkan dari berbagai perguruan tinggi yang ada di kota yang terkenal dengan peyemnya itu. Marie sama seperti yang lain mempunyai pacar. Lumayan kata kawan-kawan yang lain, untuk mengisi waktu luang dan ada bodyguard gratis. Karena aku masih baru di Bandung dan berniat tidak mau pacaran, jadi anteng-anteng aja.
Pernah pada suatu ketika, terjadi keributan yang luar biasa di malam minggu antara Marie dan Yovie. Yovie mengaku tidak bisa datang mengapel. Lantaran, ada urusan kampus. Jelas saja, Marie tidak percaya. '"Mana ada urusan malam minggu di kampus. Manknya, aku orang bodoh,'' teriak Marie di telepon, yang spontan saja suara teriakan di ruang televisi itu mengundang perhatian beberapa teman dan juga aku yang sedang duduk di teras atas.
''Ada apa,'' tanya Otin.
Kami saling menggelengkan kepala dan ada yan mengangkat bahu tanda tak tahu apa yang terjadi di ruang televisi yang hanya berisikan Marie. ''Kalau kamu tak datang, aku akan bunuh diri neh,'' katanya lagi, kali ini suaranya tidak menggema di ruang televisi yang luas dan kosong itu.
Otin yang masih penasaran pun menanyakan lagi ke kami apa yang terjadi. Kali ini, Sinta menjawab, biasa lah berantem dengan pacarnya.
Aku yang masih terbilang baru berada di kos-kosan tersebut diam saja dan melanjutkan membaca buku Chicken Soup for the Soul yang barusan aku beli di Gramedia masih berada di teras depan.
Tak lama kemudian, Marie yang selesai menerima telepon dari sang kekasih itu pun langsung ke bawah tanpa basa-basi. Biasanya kan nyapa dulu, sambil duduk. Sempat terjadi keheranan antara Elmi dan Otin. Pasalnya, kamar Marie itu diatas, terus ngapain dia ke bawah. Dalam pemikiran ku, ia mau menelpon ke wartel melanjutkan pertengkaran dengan Yovie.
Selang beberapa menit, Marie ke atas sambil membawa pisau. Dengan rasa penasaran Otin pun menanyakan untuk apa itu. ''Tuk apa tuh pisau,'' tanya Otin sambil ngelihat benda tajam yang berada di tangan Marie.
''Untuk bunuh diri,'' jawabnya masih dengan sisa-sisa air mata di pipinya.
''Oh,'' kata Otin, yang lainnya masih tetap bercakap-cakap seperti biasa.
Marie pun masuk ke kamarnya dan tak keluar-keluar selang beberapa menit, setelah masuk ke dalam. Otin yang mank dari tadi penasaran pun kembali merasa cemas dengan pikiran bahwa apa yang dikatakan Marie benar. DIA MAU BUNUH DIRI.
''Bagaimana ini, jangan-jangan dia mau bunuh diri beneran,'' tanya Otin cemas.
''Biar aja,'' kata Elmi. ''Paling dia cuma mau mencari sensasi aja,'' sambungnya cepat.
''Mank, sering seperti itu ya Marie,'' tanya ku polos.
''Ya gitu deh,'' jawab Elmi, Helga serempak.
''Koq bisa,'' tanya ku lagi sambil mengalihkan pandangan ke kamar Marie yang sepi.
''Paling juga cari perhatian,'' kata Helga.
Otin dengan cepat bertanya, ''kalau benaran bagaimana?,''
''Ngak mungkin,'' ujar Wati sambil membenarkan kacamatanya.
Otin yang mank selalu panikan pun berusaha mengetuk kamar Marie, tetapi tak ada sehutan. ''Bagaimana neh,'' tanyanya panik pada kami.
Aku pun juga mulai sedikit panik karena reaksi Otin yang berlebihan. Sedangkan empat kawan ku yang lain bersantai.
''Kalau bunuh diri demi cowoq yang super ganteng ga masalah,'' sehut Nink yang dari tadi diam saja.
Aku pun semakin bingung di buatnya. ''Nyantai aja Anne, dah sering koq. Dah capek. Otin aja yang mank selalu begini. Paling cari perhatian,'' kata Nink lagi.
Otin yang memang benar-benar super panik, langsung memanggil Yuni. ''Yun,'' teriaknya.
Tak lama, pintu terbuka, ''Ada apa,'' teriak Yuni membalas teriakan Otin. Karena kamar Yuni berada paling bawah, ujung lagi.
''Kesinilah sebentar, ada yang mau aku bicarakan,'' sehut Otin dengan masih nada teriak.
Yuni pun langsung menuju keatas. Otin dengan semangat empat lima pun menceritakan mengenai Marie. ''Terus aku harus bagaimana,'' tanya Yuni bingung.
''Masuk ke kamarnya kek, atau apa ajalah,'' jawab Otin sekenanya.
''Aku coba deh,'' kata Yuni, sambil mengetuk kamar Marie.
''Marie, ini aku Yuni,'' ujar Yuni dengan nada jawa medoknya.
Sekali, dua kali, tak ada sehutan dari dalam. Yuni yang memang suka ikut kegiatan Mapalah dan sebagainya itu pun mulai mengancam. ''Kalau ngak dibuka pintunya, aku suruh kawan dobrak pintu atau panggil bapak kos lo,'' ancamnya.
Mendengar hal itu, Marie pun membuka kan pintu dan menyuruh Yuni masuk... Akhirnya percobaan bunuh diri pun gagal. Sebagian kawan yang berada disitu pada ketawa ditahan. ''Dasar bodoh,'' tutur Wati sinis.
Aneh, pikir ku. ''Koq ada orang yang mau mencoba bunuh diri cuma untuk pacar. Manknya diapain seh, sampai seperti itu,''
***
Keesokannya, Marie bersikap seperti biasa, kaya tak terjadi hal yang menghebohkan. Karena penasaran, aku menanyakan prihal semalam. Ia hanya tertawa-tawa saja. ''Aku sebel ma dia,'' sehutnya dengan mimik cemberut.
Marie sangat cantik, menurut ku. Walaupun berasal dari daerah Banyumas, ia mirip India, hidungnya mancung dengan warna kulit coklat dan dengan paras wajah yang ayu. ''Sebel boleh aja, tapi kan ngak perlu bunuh diri, kan rugi,'' tanya ku lagi.
''Kalau ngak digituin, dia ngak akan datang,'' katanya membela diri.
''Buktinya, dia ngak datang kan. Buat apa seh repot-rerot seperti itu. Kamu kan cantik,'' ujar ku.
''Kamu ngak tahu seh rasanya,'' ucapnya sekenanya.
***
Aku pikir itu pengalaman pertama dan terakhir melihat teman mau bunuh diri demi pria. Ternyata juga tidak. Sewaktu aku bekerja di Jakarta, pengalaman ini pun kembali terulang. Kali ini terjadi pada rekan bisnis ku. Lagi-lagi karena pria. Sehebat apa seh pria itu, sampai membuat wanita rela mati demi dia. Bunuh diri demi cinta, no way lah. Tak ada di kamus ku.
Lamunan Anne terhenti, karena bel pintu rumahnya berbunyi. Cepat-cepat Anne keluar dari kamarnya menuju depan. Sebelum membuka kan pintu, Anne melihat dulu tamu yang datang. Ternyata pak pos. Anne pun langsung membuka kan pintu.
''Met sore mba, benar ini rumah mba Anne,'' tanya pak Pos ramah.
''Bener pak,'' balas ku.
''Ini ada surat, tolong ditandatangi ya mba,'' ujarnya sambil mengulurkan beberapa surat dan juga paket. Setelah aku menandatanganinya. Ia pun langsung pergi. Aku melihat-lihat surat sekilas siapa tahu ada yang penting, ternyata dari beberapa orang yang mau memberikan komentar mengenai tulisan yang ku buat.
Sebelum kembali ke kamar dan melanjutkan pekerjaan ku. Aku menuju dapur membuat milkshake chocolate plus mengambil cake dari lemari pendingin.
Aku masih tak habis pikir mengenai orang yan rela melukai dirinya demi pria yang dicintainya dan kalau ku bilang itu adalah hal yang bodoh untuk dilakukan. Kembali aku mengingat kejadian yang sempat menghebohkan beberapa kawan. Hal itu dikarenakan, rekan bisnis mencoba melakukan percobaan bunuh diri. Lantaran, pacarnya memutuskan sepihak. Lucu banget deh dunia ini. Memangnya pria cuma satu apa di dunia ini. Sehingga rela melukai dirinya sendiri.
Aku tahu hal itu dari sahabat ku Viona, Vio nama panggilan ku untuk dirinya. Saat itu, ia tidur di kost ku, seperti biasa. Kalau aku lagi suntuk atau dia or ada banyak yang mau diceritakan tentang pacarnya ataupun pekerjaannya. Ia selalu menginap di tempat ku. Begitu sebaliknya.
Sekitar pukul 12.00 malam, ponsel Vio berbunyi dari Kelly. ''Kelly,'' katanya sambil menunjukan layar ponselnya.
Aku melihat sambil berujar, ''Ya, angkat aja,''
Ia menjawab, ''Malas,''
Ponsel pun terus berdering. ''Angkatlah Vio, sapa tahu penting,''
''Halo,'' salam Vio. ''Ada apa,'' tanya Vio, dan langung dijawab, ''Aku mau bunuh diri,''
''Kenapa,'' tanya Vio.
''Kesinilah, aku mau bunuh diri,'' ujarnya.
Ach, please deh, bunuh diri koq bilang-bilang. ''Manknya ada apa,'' tanya Vio sambil memandang pada ku. Aku hanya menggelengkan kepala. ''Bunuh diri koq bilang-bilang,''
''Aku diputusin ma bang Riyan,'' ucapnya sambil tersendu sendan.
''Ya, sudah nyantai aja. Ini sudah malam, rumah ku jauh dari rumah mu. Apalagi, aku lagi menginap di rumah Anne,'' sehut Vio.
''Besok dibahas ya,'' kata Vio lagi.
''Kalau ngak kesini aku bunuh diri,'' ancam Kelly.
Vio pun semakin heran. ''sudah lah, lagi pula motor ku lagi ngak ada. Aku kesana mau naik apa,'' tolak Vio sambil menutup telepon.
''Bagaimana ini?,'' tanya Vio pada ku.
''Cuekin aja lah. Paling juga mau mencari perhatian,'' ujar ku sambil mengingat kejadian Marie waktu masa kuliah dulu.
''Bener neh, kalau dia bunuh diri. Ntar aku yang dipersalahkan,'' katanya panik.
''Rileks. Udahlah,'' ucap ku. ''Ingat waktu itu, dia juga mau bunuh diri kan. Kamu sendiri yang cerita,'' kata ku lagi.
Vio pun mengingat dan mengangguk. ''Iya'' Waktu itu, Kelly juga menelpon Vio untuk bunuh diri, ternyata karena bensinnya mank beneran abis, Ngak bisa kesana. Akhirnya ia pun memotong urat nadi tangannya untuk mengakhiri hidupnya. Namun, ia menelpon Vio kembali untuk diantar ke rumah sakit.
'Karena merasa tak enak, akhirnya Vio pun mengatarkannya ke rumah sakit dengan menggunakan sepeda motor teman kosnya. Kejadian itu pun kembali terulang. Kali ini, Vio bersikap tegas, tidak mau kesana.
''Bagaimana ya, kalau dia nekad lagi,'' tanya Vio sambil berusaha memejamkan mata, jam sudah menunjukan pukul 01.00 dini hari.
''Sudah lah, tidur yuk. Besok kita kan harus kerja. Kita lihat aja besok, beneran mati ngak,'' sehut ku asal.
''Nanti, aku disalahkan keluarganya,'' katanya sambil memandang ku.
Wajahnya mulai terlihat panik, kata ku, kalau mau bunuh diri waktu itu, kenapa tidak pas di urat nadi. Pasti tidak sempat tertolong. Sudahlah, dia cuma cari sensasi aja. ''Kita buktikan aja besok ya,'' kata ku lag
i.
Vio pun menganggukkan kepala dan mematikan ponselnya. Wait and see. Itulah yang kami tunggu keesokan harinya. Ternyata ancaman tuh anak, tidak terbukti. Buktinya, seperti biasa. Namun yang tak habis ku pikir. Kenapa, mau bunuh diri demi pria.
''Dunia ini sudah gila,'' pikir ku. ''Begitu gampang menghabiskan nyawa sendiri untuk hal-hal yang tak berguna. Salah satunya mati demi pria, no way,''
Prinsip hidup ku, sebagaimana pun mencintai pria jangan sampai memberikan sepenuhnya cinta itu untuknya. Cukup berikan kadar 40 persen atau kalau bisa 30 persen. Sehingga kelak cinta itu tak kan membunuh or menyakiti mu.
***
Apalah arti dari cinta?
Bila itu hanya menyakitkan satu dengan yang lain.
Suatu hubungan yang seharusnya didasari pengertian
Sudah tak lagi berjalan....
Untuk apa dipertahankan dengan berbagai cara
Hanya orang bodohlah yang mempertahankan
Dengan cara bunuh diri....
Karena belum tentu, pria itu layak untuk dipertahankan
Cinta itu memang penuh dengan perjuangan
Tapi bukan berkorban nyawa untuk hal yang sia-sia
Karena cinta itu nantinya akan menghilang dengan sendiri
Hidup ini indah untuk dipertahankan
Walaupun tak ada cinta lagi dari sang kekasih
Bukan berarti dunia ini kiamat, bukan?
Karena masih banyak cinta yang lain
Sebab hidup itu bukan hanya untuk pria saja
Hidup untuk orang lain yang mengasihi mu tanpa henti
Life is going on without man............
--cerita ini fiktif ya--
@by Citra Pandiangan
Pada
6:43 PM
Hue..hue..hue ternyata fiksi...
BalasHapusTapi bener orang yang buniuh diri karena jodoh atau gagal dapetin orang berarti kurang mengerti dan mengimani takdir. Kalau memang ndak jodoh mau di pakai cara apapun seribu kali kan ndak akan pernah jadi dan kalau emang dah jodoh mau dipisahin dengan cara apapun pasti ndak bisa juga...
bunuh diri, no way! dosa dan konyol itu
to Silo
BalasHapusHabis kalo ngak dibilang fiksi entar dikiranya beneran. Trus ada yang komplain kan repot. Mendingan dibilang fiksi hehe... --maksudnya--
Setuju banget tuh dengan mas/mba. Sudah konyol, dosa lagi. Dunia- akhirat ngak dapat deh hehe... ya ngak